EXPERIENTIAL LEARNING – LEARNING THROUGH EXPERIENCE

Apa itu “experiential learning”? Seperti dipertegas oleh judul di atas “experiential learning” itu merupakan belajar melalui pengalaman (lebih tepatnya BELAJAR DENGAN MENGALAMI SENDIRI).

Hati-hati: Learning dalam bahasa Inggeris itu bisa mengandung arti proses atau kegiatan belajar (mempelajari sesuatu), bisa pula mengandung arti “telah mempelajari” sesuatu (tahu, paham, bisa melakukan dan sebagainya).

Jadi “learning through experience” itu bisa mengandung arti menjadi tahu, paham, atau bisa melakukan sesuatu (“berpengetahuan”) dengan atau melalui pengalaman (mengalami sesuatu).

Apa sih yang dimaksud dengan “pengalaman” itu? Meetu mengutip Concise Oxford Dictionary yang merumuskan pengalaman itu sebagai “pengamatan nyata terhadap atau berkenalan langsung dengan fakta atau peristiwa (“actual observation of or pratical acquaintance with facts or events”).

Lalu, Meetu menyatakan bahwa “The learning that takes place from this experience is known as experiential learning.” (Hasil belajar yang diperoleh dari pengalaman ini dikenal dengan sebutan “berpengetahuan dari pengalaman”).

Apa jelasnya “experiential learning” itu? Salah satu rumusan (penjelasan) tentangnya dapat diperoleh dari Psychology Wiki, dengan sebutan lain, yaitu “experiential education,” walau judul tulisannya Experiential Learning.

 “Experiential education” (atau “learning by doing”) itu, menurut Wiki, merupakan proses melibatkan murid dalam pengalaman sesungguhnya yang bisa memberikan berbagai keuntungan dan akibat lebih lanjut.

Baca juga : Model Pembelajaran Experiental Learning

Lewat “pendidikan berpengalaman” ini murid-murid melakukan sendiri penemuan-penemuan dan percobaan “kepengetahuanan,” bukan mendapatkan pengetahuan lewat mendengar atau membaca pengalaman orang lain.

Lewat “pendidikan berpengalaman” ini murid-murid dapat pula melakukan refleksi (perenungan-pengkajian) akan pengalamannya, sehingga terkembangkanlah kecakapan barunya, sikap barunya, dan teori-teori atau pola pikirnya (Kraft & Sakofs, 1988).

Bagaimana ceritera belajar atau pendidikan “dengan mengalami sendiri” (“experiential learning”) itu terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari? Meetu melukiskannya begini.

 

Bagaimana biasanya para tua mengajarkan kepada anak-anaknya yang masih kecil “konsep” panas dan dingin?

Pada umumnya orang tua menyuruh anaknya memegang sesuatu (gelas air, misalnya) yang hangat.

Lalu, berulang-ulang orang tua itu menyebutkan kata panas ketika anaknya menyentuh benda hangat tersebut. Begitu pula dengan dingin.

Orang tua menyuruh anaknya menyentuh sesuatu yang dingin dan berulang-ulang menyebut kata dingin saat si anak menyentuhnya. Itulah yang disebut dengan “belajar melalui mengalami sendiri” (experiential learning).

Menurut Meetu, proses “experiential learning” itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Mengalami (“experiencing”). Mengalami itu sendiri merupakan suatu proses. Dalam contoh murid “pemalu dan penakut” (yang “diajari”) untuk melakukan kegiatan menyeberang jalan untuk mencapai toko kelontong, bicara kepada penjaga toko menanyakan barang dan harganya, dan menghitung berapa uang kembalian yang harus diterima, semua kegiatan yang dilakukannya itu merupakan bagian dari pengalaman.

2. Menganalisis dan merespon (“analyzing & responding”). Dengan  contoh diatas, murid tersebut di atas harus menganalisis (mengkaji, memikirkan) apa yang harus dilakukannya, apa yang harus ia katakan ketika penjaga toko menyebut barang dagangan tertentu atau bertanyakan sesuatu, apa yang harus dilakukannya jika uang yang dibawanya tidak cukup untuk membayar barng yang harus dibeli, itu semua merupakan bagian dari yang disebut menganalisis.

Jangan lupa pula bahwa merespon (menanggapi), yaitu  menanggapi pertanyaan-pertanyaan atau tawaran dari penjaga toko, misalnya, juga merupakan bagian penting dari “berpengalaman” itu.

3. Menerapkan (“applying”). Menerapkan apayang sudah dialami (diketahui dari pengamalammnya sendiri) ke dalam situasi atau keadaaan yang baru merupakan tahap berikut yang dilakukan murid.

Setiap pengalaman yang pernah dialami murid (yang “sukses”) akan membuat anak punya rasa percaya diri dan keberanian untuk bertindak atau melakukan hal yang sama (jika sudah berhasil menyebrang jalan dengan selamat, akan tak takut lkagi menyeberang jalan. Jika sudah bisa berbicara lancar dengan penjaga toko, akan tak takut lagi untuk datang ke toko dan berbelanja.

Apa saja kegiatan yang bisa memunculkan belajar melalui pengalaman itu? Meetu menyebut antara lain: (1) karya wisata atau jalan-jalan, (2) melakukan simulasi, (3) bermain peran, (4) melakukan percobaan atau eksperimen, (5) melakukan observasi lapangan, (6) melakukan survai.

Nah, jadi, berdasarkan paparan Meetu tersebut di atas (dan berbagai sumber lain), ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan pegangan guru untuk menggunakan “experiential learning” dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar, yaitu:

1. Pilih kegiatan “experiential learning” yang paling sesuai dengan tujuan PBM (jalan-jalan, observasi lingkungan, melakukan percobaan, atau lainnya). Ingat: banyak macam ragam aktivitas yang bisa memberikan “pengalaman langsung” kepada murid dalam berbagai bidang studi atau materi pelajaran, tidak terbatas pada apa yang disebutkan Meetu di atas.

Mengalami sendiri itu bisa berupa: (1) melihat dengan mata kepala sendiri, (2) mendengar sendiri secara langsung, (3) merasakan, meraba sendiri secara langsung, (4) melakukan sendiri (“learning by doing”)–mencoba-coba (bisa juga “membuktikan sendiri” kata buku bahwa minyak akan terpisah dari dan berada di atas air), bersimulasi, mempraktekkan, dsb. Inti dari “mengalami sendiri” itu adalah tidak hanya sekedar mendengar kata orang (Pak atau Bu Guru) atau membaca dari buku, melainkan “tahu dengan indera-inderanya sendiri.”

2. Rancang kegiatan (proses) “experiential learning” itu dari yang sederhana bergerak ke yang rumit, dari yang mudah bergerak ke yang lebih sulit.

Ingat: keberhasilan pertama merupakan penguat motivasi melakukan kegiatan berikutnya, dan sebaliknya, jika gagal pada pertama kali, akan membuat murid “takut” melakukan kegiatan berikut.

3. Susun skenario kegiatan “mengalami” sendiri itu dengan cermat dan rinci dengan memperhitungkan waktu dan sarana yang tersedia. Tatang M. Amirin